Negara Peradaban: Cina



Cina negara peradaban dan pengaruhnya di Asia Tenggara
When China Rules The World, sumber gambar: www.penguin.co.uk
Cina, menurut standar semua negara lain, adalah hewan paling ajaib. Selain ukurannya, Cina punya dua karakter luar biasa, unik pula.  Bukan sekadar sebuah negara-bangsa, Cina juga merupakan sebuah peradaban dan benua. Sesungguhnya, Cina menjadi sebuah negara bangsa relatif belum lama. Kapan tepatnya terbuka untuk diperdebatkan: boleh jadi akhir abad kesembilan belas, atau sesudah Revolusi 1911. Dalam pengertian ini—sama seperti Indonesia dikatakan baru berumur setengah abad lebih sedikit, atau Jerman dan Italia yang tak lebih dari satu abad—Cina adalah ciptaan sangat mutakhir. Tetapi, tentu saja, ini omong kosong.  Cina sudah ada selama beberapa milenium, yang pasti lebih dari dua, mungkin malah tiga, ribu tahun, walaupun rata-rata orang Cina suka membulatkan menjadi 5.000 tahun. Ringkas kata, keberadaan Cina sebagai entitas yang dikenal dan berkesinambungan jauh mendahului statusnya sebagai negara-bangsa. Dilihat dari segi kontinuitas keberadaanya, Cina adalah negara tertua di dunia. Sudah ada sejak tahun 221 SM, kalau bukan malah jauh sebelumnya. Ini bukan detail historis misterius, tetapi memang begitulah cara orang Cina—bukan cuma kalangan elite, sopir taksi juga—memandang negara mereka. Sering pandangan ini menyeruak dalam pembicaraan seorang sopir, berikut rujukan pada Konfusius atau Mencius, barangkali dengan sedikit bumbu puisi klasik. Ketika orang Cina menyebut “Cina” mereka lazimnya tidak menunjuk pada negara atau bangsa melainkan peradaban Cina—sejarahnya, deretan dinastinya, Konfusius, cara pikir, pola hubungan dan adat istiadat mereka, guanxi (jaringan koneksi pribadi), keluarga, bakti kepada orang tua, pemujaan leluhur, nilai-nilai, dan filsafat khas. Orang Cina tidak memandang diri sehubungan dengan negara bangsa—seperti orang Eropa, misalnya—melainkan sebagai sebuah negara-peradaban yang terkait dengan suatu formasi geologis di mana negara-bangsa tak lebih dari tanah permukaan. Tidak ada bangsa lain di dunia ini yang sedemikian terhubung dengan masa lalu mereka dan yang bagi mereka masa lalu—bukan masa yang baru lalu tetapi yang jauh di masa lalu—begitu relevan dan berarti. Semua negara lain bisa diibaratkan anak ayam, rakyat dipisahkan dari masa lampau oleh keterpenggalan mencolok sejarah mereka. Tetapi Cina tidak. Cina mengalami pergolakan dahsyat, serbuan dan perpecahan, tetapi bagaimanapun juga garis kontinuitasnya tetap jelas, utuh dan sangat dominan, tertanam kokoh di benak bangsa Cina selama masa sela dan keterpenggalan.

Masyarakat Cina hidup di dalam dan dengan sejarah mereka, betapapun jauhnya, dengan kadar sangat berbeda dari masyarakat mana pun. “Negara lain mana di dunia ini,’ ujar sejarawan Wang Gungwu, “yang bisa dikatakan hubungan luar negerinya selama dua ribu, atau seribu tahun sajalah, ditulis nyaris sama hidupnya seperti saat ini?” Sarjana Cina Jin Guantao mengemukakan, “Satu-satunya mode eksistensi [Cina] adalah berpaling ke masa lalu. Tidak ada mekanisme yang bisa diterima dalam kebudayaan bagi orang Cina untuk menghadapi masa kini tanpa bersandar pada ilham dan kekuatan tradisi.” Sarjana Cina Huang Ping mengatakan:   

Cina adalah ... sejarah hidup.  Di sini nyaris setiap peristiwa dan proses yang terjadi sekarang terkait erat dengan sejarah, dan tidak bisa dijelaskan tanpa memperhitungkan sejarah. Bukan cuma kalangan intelektual, pegawai negeri dan pengusaha dan masyarakat awam pun punya kesadaran sejarah yang kuat ... sesedikit apa pun pendidikan formal yang dikecap orang, mereka hidup dalam sejarah dan bertindak sebagai ahli waris serta juru bicara sejarah itu.

Penulis Tu Wei-ming mengungkapkan:

Memori kolektif orang Cina sedemikian rupa hingga ketika membicarakan puisi Tu Fu (712-70), Catatan Sejarah (teks sejarah sistematis Cina pertama, ditulis antara 109 hingga 91 SM, menyampaikan sejarah Cina sejak masa Kaisar Kuning hingga masa sang penulis) karya Sima Qian (meninggal sekitar 85 SM),  Analek Konfusius, mereka merujuk pada tradisi kumulatif yang dilestarikan dalam aksara Cina ... Sebuah perjumpaan dengan Tu Fu, Sima Qian, atau Konfusius melalui simbol-simbol ideografis membangkitkan sensasi realitas yang kehadirannya seolah-olah digoreskan selamanya dalam naskah itu.

Kesadaran awal tentang Cina seperti yang kita kenal sekarang muncul bersama dinasti Zhou, yang berkembang di sepanjang Lembah Sungai Kuning pada akhir milenium kedua SM. Sebelum itu, sesungguhnya, pada masa dinasti Shang, fondasi bagi Cina modern sudah mulai terbentuk dengan sebuah bahasa ideografis, pemujaan leluhur dan gagasan tentang penguasa tunggal. Sungguhpun demikian, peradaban Cina belum punya hakikat yang kokoh. Hakikat ini menonjol beberapa abad kemudian melalui tulisan-tulisan Guru Kong, Konghucu, atau Confucius nama Latinnya. Pada masa itu bahasa Cina sudah dipakai di bidang pemerintahan dan pendidikan, dan gagasan tentang mandat Langit sebagai prinsip pemerintahan turun-temurun tertanam kuat. Konfusius (551-479 SM) hidup sebelum periode Negara-negara Berperang (403-221 SM) ketika berbagai negara tak henti-henti berperang satu sama lain. Kemenangan dinasti Qin (221-206 SM) mengakhiri periode itu dan mencapai penyatuan banyak wilayah Cina, dan kemunculan Cina modern bisa dikatakan bermula pada masa tersebut. Konfusius tidak mendapat status yang tinggi dan tidak banyak dikenal semasa hidupnya, justru setelah kematiannya dia menjadi satu-satunya penulis paling berpengaruh selama sejarah Cina. Selama dua ribu tahun berikutnya Cina dibentuk oleh argumen-argumen dan ajaran-ajaran moralnya, pemerintahan Cina diilhami oleh prinsip-prinsip Konfusius dan Analek sudah mapan sebagai buku paling penting dalam sejarah Cina. Konfusianisme adalah cara berpikir sinkretis yang bersumber pada kepercayaan-kepercayaan lain, khususnya Taoisme dan Buddhisme, tetapi ide-ide Konfusius sendiri tetap yang paling menonjol. Penekanannya pada kearifan moral, pentingnya supremasi pemerintah dalam urusan manusia, dan pada prioritas sangat tinggi bagi stabilitas dan persatuan, yang dibentuk oleh pengalaman hidupnya dalam pergolakan dan instabilitas sebuah negara yang terpecah-belah, mewarnai nilai-nilai fundamental peradaban Cina sejak saat itu. Baru menjelang akhir abad kesembilan belas pengaruhnya mulai memudar, walaupun selama kemelut abad kedua puluh—termasuk periode Komunis—pengaruh pemikirannya tetap lestari dan jelas terasa. Ironisnya justru Mao Zedong, pemimpin Cina yang paling membenci Konfusius, yang memungut tradisi Konfusian dalam bentuk maupun isi Buku Merah Kecil yang ditulisnya.

Dua kontinuitas paling jelas dalam peradaban Cina, yang semuanya bisa dirunut hingga Konfusius, berkenaan dengan negara dan pendidikan. Negara selalu dipandang sebagai pengejawantahan dan pengawal peradaban Cina yang, karena itulah, dalam era dinasti para kaisar dan Komunis, memegang otoritas dan legitimasi sedemikian besar. Dari sekian gugus tanggung jawabnya, negara terutama mengemban tugas luhur memelihara kesatuan peradaban Cina. Tidak seperti dalam tradisi Barat, di Cina peran pemerintah tidak mengenal batas dan sering diibaratkan seperti orang tua dengan kewenangan tanpa batas. Paternalisme dipandang sebagai karakteristik pemerintahan yang sangat dikehendaki dan mutlak diperlukan. Pada praktiknya negara tidak pernah seperkasa yang dibayangkan, kendati demikian tidak ada keraguan mengenai penghormatan dan penghargaan yang diperlihatkan orang Cina terhadap negara. Persis seperti itu, konsep khas pendidikan dan pengasuhan anak Cina mengakar berurat pada peradaban masa lalunya. Sejak masa Mencius (372-289 SM), murid Konfusius, orang Cina selalu memandang sifat manusia secara optimis. Mereka yakin bahwa pada dasarnya orang itu baik dan bahwa, dengan mengasuh anak sesuai cara yang benar melalui pengasuhan dan pendidikan yang tepat, orang akan memperoleh sikap, nilai-nilai dan disiplin diri yang benar. Di kelas, anak-anak diharapkan memperlihatkan sikap hormat kepada guru dan, mengingat sangat pentingnya sejarah, merujuk ke masa lalu sehubungan dengan kandungan pelajaran mereka. Pendidikan dimuati otoritas dan penghormatan terhadap peradaban Cina, dan guru bertindak selaku pembawa dan penyampai kearifan tersebut. Prioritas tinggi diberikan bagi pelatihan dan teknik, setara dengan nilai-nilai keterbukaan dan kreativitas di Barat, sehingga hasilnya adalah anak-anak Cina yang sering mencapai tingkat komptenesi teknis jauh lebih tinggi dalam usia sangat dini di bidang musik dan seni, misalnya, dibanding teman-teman Barat mereka. Boleh jadi untuk sebagiannya ini berangkat dari penggunaan sebuah bahasa ideografis, yang mensyaratkan pembelajaran menghafal ribuan aksara, dan kemampuan mereproduksi akasara-aksara tersebut dengan kesempurnaan teknis.

Dalam menekankan kontinuitas peradaban Cina, wajar jika ada keberatan bahwa selama kurun lebih dari dua milenium terdapat kekacauan besar dan sering brutal serta diskontinuitas yang menyebabkan tidak begitu miripnya Cina sekarang dengan dua ribu tahun silam. Pada satu tataran, tentunya, ini benar. Cina sudah sedemikian berubah. Tetapi pada tataran lain garis kontinuitas tetap bertahan dan terlihat jelas. Hal ini tercermin dalam kesadaran diri orang Cina: di mana peradaban Cina—sebagaimana terungkap dalam sejarah, cara berpikir, adat istiadat dan sopan santun, pengobatan dan makanan tradisional, kaligrafi, peran pemerintah dan keluarga—tetap menjadi rujukan pokok mereka. Wang Gungwu mengemukakan “apa yang pada hakikatnya Cina adalah kontinuitas luar biasa yang tampaknya membuat peradaban tersebut semakin unik selama berabad-abad.” Mengingat sejak 221 SM Cina sudah dipersatukan selama 1.074 tahun, sebagian disatukan selama 673 tahun, dan terpecah-pecah selama 470 tahun, walaupun mengalami beberapa penyerbuan besar dan pendudukan selama milenium terakhir, hal tersebut bisa dikatakan luar biasa. Sifat berbagai pendudukan tersebut justru memperlihatkan kekuatan kebudayaan Cina dan ketahanan serta kontinuitas yang mendasarinya: dinasti proto-Mongol Liao (907-1125 M) adalah dinasti non-Cina pertama di Cina utara; dinasti Jin (1115-1234) berasal dari Mongolia; dinasti Yuan (1279-1368) juga berdarah Mongol, sedangkan dinasti Qing (1644-1912) berasal dari Manchuria, akan tetapi cepat atau lambat mereka menjadi orang asli dan ter-Cina-kan. Pada masing-masing kurun tersebut kebudayaan Cina memperlihatkan diri jauh lebih unggul ketimbang para penyerbunya. Bahkan “invasi” Buddhis awal dari India pada abad pertama Masehi juga berujung dengan ter-Cina-kannya ajaran-ajaran Buddha selama kurun ratusan tahun.

Tantangan Barat di sekitar tahun 1850 adalah tawaran yang sama sekali berbeda: aspek-aspek utama kebudayaan Barat, terutama orientasi dan pengetahuan ilmiahnya, jelas mengungguli Konfusianisme tradisional dan menyeretnya ke dalam sebuah krisis kian mendalam ketika orang Cina enggan mengupayakan semacam rekonsiliasi antara nilai-nilai tradisional dan Barat. Antara tahun 1911 dan 1949 hampir tidak ada institusi penting (konstitusi, universitas, pers, Gereja, dan lain-lain) yang bertahan dalam bentuk asalnya selama lebih dari satu generasi, karena sedemikian signifikan dan awetnya watak kekokohan Cina. Barat menyodorkan asumsi-asumsi Cina yang terdesentralisasi. Akhirnya, ketika semuanya gagal, Cina berpaling pada Komunisme, atau lebih spesifik Maoisme, yang mengandung penolakan tegas terhadap Konfusianisme. Meski begitu, selama periode Maois nilai-nilai dan cara berpikir Konfusian tetap berpengaruh, meski dalam bentuk terselubung, dan bisa dikatakan tetap merupakan nalar lazim rakyat. Sekarang pun, setelah berhasil bangkit dari kemerosotan dan mengalami gegap gempita modernisasi, Cina masih direpotkan oleh hubungan antara kebudayaan Cina dan Barat dan sejauh mana dirinya mengalami Westernisasi. Sungguhpun demikian, melalui pergolakan, pembantaian, kekacauan dan  kelahiran kembali, Cina tetap masih dikenali seperti sedia kala. Ketika Cina menapak naik selangkah lagi, kepercayaan dirinya dilambungkan oleh berbagai capaian mutakhir, pencarian maknanya tidak melulu bertumpu pada modernitas melainkan juga, dan seperti biasanya, pada masa lalu peradabannya. Cara berpikir Konfusian, yang tidak pernah punah itu, dihidupkan kembali dengan giat dan dicermati karena bisa dipakai di masa kini, dan karena kemampuannya memberikan panduan moral.

Bagi banyak negara berkembang proses modernisasi dicirikan oleh sebuah krisis identitas, kerap diperparah oleh pengalaman kolonial, sebuah perasaan terkoyak di antara kebudayaan mereka sendiri dan kebudayaan Barat, terkait dengan rasa rendah diri mengenai relatif terbelakangnya mereka. Tentu saja orang Cina punya perasaan terhina, tetapi tidak pernah mengenal rasa rendah diri yang sangat kuat dan melumpuhkan: mereka selalu punya kesan kuat tentang apa arti menjadi orang Cina dan sangat bangga dengan fakta itu. Kecinaan itu bahkan sedemikian kuat hingga mengaburkan dan membayangi—bertolak belakang dengan yang terjadi di India, misalnya—identitas-identitas kuat lain seperti daerah, kelas sosial dan bahasa. Rasa memiliki ini mengakar pada masa lalu peradaban Cina, yang berfungsi mengikat sebuah populasi sangat besar dengan perbedaan dialek, adat istiadat, etnis, geografi, iklim, tingkat perkembangan ekonomi dan standar hidup. “Yang menyatukan orang Cina,” kata Lucian Pye, “adalah pengertian mereka tentang kebudayaan, ras dan peradaban, bukan identifikasi dengan bangsa sebagai sebuah negara.”

Sehingga, memaparkan Cina dalam pengertian sebuah negara-bangsa bisa dikatakan tidak tepat. “Cina adalah sebuah peradaban,” menurut Pye, “yang menampilkan diri seolah-olah adalah sebuah negara-bangsa.” Banyak sekali konsekuensi dari kenyataan bahwa sesungguhnya Cina adalah sebuah negara-peradaban. Negara-peradaban ini melahirkan jenis politik yang sangat berbeda dari yang dianut negara-bangsa konvensional, dan persatuan,  yang mengakar pada ide tentang peradaban bukannya bangsa, menjadi prioritas tertinggi. Sebagai sebuah negara-peradaban, Cina mewujudkan dan membolehkan  pluralitas sistem, seperti dalam kasus Hong Kong, yang tidak dikenal oleh negara-bangsa yang menghendaki dan memerlukan tingkat homogenitas jauh lebih tinggi. Negara-peradaban melahirkan pengertian tersendiri orang-orang Cina mengenai ras dan etnis, dengan ras Han kurang lebihnya dianggap berdekatan dengan peradaban Cina kuno. Negara-peradaban mewujudkan hubungan amat erat tidak hanya dengan sejarah relatif mutakhir Cina, sebagaimana lazimnya kebanyakan negara-bangsa, melainkan, dan ini sangat jelas terlihat, dengan setidak-tidaknya sejarah dua milenium yang terus-menerus menyela dan berfungsi sebagai pedoman dan tolok ukur di masa sekarang. Negara-peradaban inilah yang berfungsi sebagai pengingat terus-menerus bahwa Cina adalah Kerajaan Tengah, dan karena itu, sebagai pusat dunia, menempati kedudukan sangat berbeda dengan semua negara lain. Istilah “peradaban” umumnya mengisyaratkan pengaruh sangat jauh dan tak langsung serta kehadiran yang lembam dan pasif. Tetapi dalam kasus Cina yang hidup bukan hanya sejarah melainkan juga peradaban itu sendiri: pengertian tentang sebuah peradaban yang hidup memberi identitas utama dan konteks yang digunakan orang Cina memandang negara mereka dan mendefinisikan diri. 
Dari Martin Jacques, When China Rules The World: The Rise Of The Middle Kingdom And The End Of The Western World, Allen Lane an imprint of Penguin Books, h. 196 - 202.


Untuk versi yang sudah disunting dan, tentu saja, lebih baik silakan baca bukunya

Judul           : When China Rules The World Ketika China Menguasai Dunia;  Kebangkitan Dunia Timur dan Akhir Dunia Barat.

Penerjemah  : Noor Cholis (penyelia), Jarot Sumarwoto.
Penerbit        : Penerbit Buku Kompas 2011
 

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Jagal Lima (Slaughterhouse-Five)

Para Pembunuh

Contentious Politics (3)