Konfigurasi Tunai
Sebelumnya: Jaringan Uang
Sungguhpun
pria muda Amerika di New York dan perempuan di Dogon di Mali tersebut hidup
dalam sebuah dunia yang disatukan secara ekonomi dan bekerja dalam pasar-pasar
yang sama, jelas terdapat perbedaan penting antara budaya dan kehidupan mereka masing-masing.
Pada jantung perbedaan itu adalah peran fundamental yang dimainkan uang dalam
kehidupan orang-orang Dogon dibandingkan peran yang dimainkannya dalam
kehidupan orang-orang Amerika. Perempuan Dogon itu hanya mempergunakan uang
lima hari sekali kalau dia ke pasar; si pria New York menggunakan uang setiap
hari dan nyaris kapan saja asal dia tidak tidur.
Uang merupakan bagian kecil kehidupan perempuan Dogon itu di luar desanya
dan jarang-jarang digunakan di desa, di mana berbagai interaksi berpusat pada
kerabatnya dan suaminya. Uang benar-benar merupakan bagian interaksi keseharian
si Amerika, mulai dari soal kerja dan makan hingga bermain-main dengan
komputernya; uang menembus jantung kehidupannya. Pria Amerika dan perempuan
Dogon tersebut hidup dalam dua budaya dengan nilai-nilai dan titik fokus
berlainan.
Setiap kebudayaan mengorganisasi kehidupan di seputar beberapa prinsip, aktivitas dan keyakinan sederhana. Berbagai
lembaga dan aktivitas lain masyarakat menjulur dari inti itu laksana
cabang-cabang dari sebatang pohon. Berbagai tindakan, lembaga, dan nilai pokok
tersebut membutuhkan apa yang disebut Ruth Benedict—dipandang sebagai
antropolog Amerika abad dua puluh paling perseptif—sebagai sebuah “konfigurasi
kultural”.
Budaya Dogon menyusun diri di sekitar inti seni, ritual, dan mitos. Di
seluruh dunia, museum-museum memamerkan patung, topeng, dan hiasan kepala unik
karya artisan Dogon. Di samping karya-karya seni tersebut, warga suku Dogon
menghias gubuk tanah liat, pakaian, dan tubuh mereka, mereka juga menghabiskan
banyak waktu dalam suatu siklus tarian seremonial dan ritual yang terkait erat
dengan kosmologi dan mitos unik mereka. Ritual dan seni menjadi bentuk-bentuk
sentral ekspresi yang di sekitar dan lewat bentuk tersebut mereka mengorganisasi
kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Penekanan orang Dogon pada seni adalah sesuatu yang tidak lazim dalam inventaris
kebudayaan dunia, meski tentu saja tidak bisa dibilang unik. Orang Bali di
Indonesia, populasi tradisional Hopi dan Pueblo di Amerika Serikat, dan
beberapa kebudayaan lain di dunia juga berfokus pada kesenian, mitos, dan
ritual. Tetapi, memang, sebagai terbesar kebudayaan memiliki lebih banyak
konfigurasi kultural duniawi ketimbang artistik.
Di Afrika Timur, budaya dan sistem sosial suku-suku nomad berpusat pada
ternak. Dalam studi klasiknya tentang orang Nuer di Sudan, antropolog Inggris
E.E. Evans-Pritchard menggambarkan mereka sebagai terobsesi dengan ternak.
Anak-anak laki-laki menyandang nama sapi favorit mereka dan menulis lagu cinta
tentang ternak mereka. Para wanita menyebut diri sapi betina dan laki-laki
mereka sapi jantan. Perkawinan baru bisa dikatakan resmi setelah dilakukan
penyerahan sapi betina kepada keluarga istri. Pembunuhan harus dibayar ganti
ruginya dan ditebus dengan memberikan sapi betina bagi keluarga korban.
Ternak lebih dari sekadar simpanan kekayaan atau nilai; lembu merupakan idiom
sosial kehidupan suku Nuer.
Kehidupan suku Badui Arabia dan Afrika berkisar pada unta. Suku Najavo dan
Ibrani kuno memfokuskan diri pada domba. Orang-orang Indian Dataran Amerika
Utara, gaucho Amerika Selatan, orang-orang Mongol dan Turki di Asia
berfokus pada kuda. Budaya dan sistem sosial bangsa Saami, atau Lapp, di
Skandinavia bertumpu pada rusa kutub, sedangkan orang-orang Cree di Kanada
mengidolakan karibu. Fokus tersebut lebih dari sekedar urusan gairah, seperti
minat orang Amerika pada mobil atau kegemaran orang Jepang pada perangkat
elektronik; lebih dari itu binatang-binatang tersebut menjadi titik utama di
mana keseluruhan budaya mengkonfigurasi diri.
Orang-orang Mesir kuno bersandar pada otoritas birokrasi negara perkasa
yang berpusat pada kultus kematian dan pemakaman. Para pekerja mencurahkan
tenaga puluhan tahun membangun piramida dan makam-makam lain fir’aun-fir’aun
mereka, dan organisasi ekonomi seluruh negeri berpusat pada pemasokan dan
penyempurnaan produk-produk raksasa itu. Berbeda sekali dengan budaya-budaya
moneter di mana emas bertindak sebagai medium pertukaran dan organisasi
ekonomi, di Mesir kuno ia berfungsi sebagai objek pemakaman. Orang Mesir paling
banyak mengubur emas dan barang-barang berharga lainnya ke dalam perut bumi
dibanding peradaban mana pun yang dikenal sejarah.
Yang menjadi fokus kultural tidak selalu hewan atau barang. Fokus
kebudayaan Tibet, umpamanya, adalah
ritual, ritus, dan meditasi varietas unik agama Buddha bangsa itu.
Bangunan-bangunan terbesar bangsa Tibet adalah kuil dan biara yang berfungsi
sebagai pusat ekonomi politik maupun agama dan pengetahuan. Sebelum Tibet
dicaplok Cina, para rahib memerintah negeri itu dan kira-kira seperempat kaum
pria menjadi rahib.
Kebanyakan masyarakat suku Papua Niugini dan Melanesia diorganisasi di
seputar persaingan politis Orang-orang Besar mereka yang mengatur perkawinan,
pembudidayaan ubi jalar, dan distribusi babi. Di kalangan bangsa Papua, Orang-orang
Besar itu merundingkan perkawinan guna membentuk persekutuan yang menguntungkan
dan memperoleh istri yang mampu bercocok tanam ubi jalar dan memelihara
babi-babi gemuk yang bisa digunakan oleh Orang-orang Besar membuat lebih banyak
persekutuan untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya yang, pada gilirannya,
membantunya memproduksi lebih banyak ubi jalar dan babi. Siklus itu berpuncak
pada moka, perayaan makan-makan besar, tari-tarian, dan pidato di mana
Orang Besar menyajikan babi dan makanan sebanyak yang dia mampu guna
menciptakan lebih banyak lagi persekutuan ekonomi politik dan dengan sebuah
putaran perkawinan, ubi jalar, babi, dan moka.
Persembahan manusia berfungsi sebagai prinsip pengorganisasian utama
imperium Aztec di Meksiko kuno. Pada mulanya bangsa Aztec mengorbankan tawanan
perang, tetapi setelah menaklukkan semua tetangga, mereka mengalami kelangkaan
stok korban. Persoalan ini mereka atasi dengan melancarkan perang seremonial,
atau perang kembang, yang ditujukan kepada warga sendiri semata-mata untuk
menangkap anak-anak muda yang akan dijadikan persembahan. Mereka membangun
banyak piramida untuk menyelengarakan ritual tersebut, mereka pun mengatur
perang dan permainan bola di seputar ritual inti yang mengekspresikan kepercayaan
pokok kebudayaan mereka.
Sukar bagi kita memahami bagaimana orang Dogon bisa mengorganisasi hidup mereka
di seputar seni dan ritual, orang Nuer di sekitar lembu, bangsa Mesir kuno di
sekitar kematian, bangsa Aztec di seputar pengorbanan manusia, orang Papua di
sekitar perkawinan, ubi jalar, dan babi, tetapi jelas masing-masing menawarkan
sebuah fokus untuk melakukan aktivitas mendasar kehidupan.
Mungkin tak kurang sulitnya bagi mereka memahami dunia kita, diatur sedemikian
rupa di seputar abstraksi ajaib yang kita sebut uang. Orang Papua mafhum kalau ubi
jalar dan babi mereka bisa dimakan. Perkawinan mendatangkan pemuasan seksual
dan produksi anak. Orang Dogon tahu betul bahwa seni itu indah dipandang, dan
ritual bisa merupakan aktivitas yang bisa dinikmati serta menggembirakan.
Bertolak belakang dengan bentuk-bentuk kepuasan estetis dan biologis tersebut,
uang tidak punya kemampuan mendatangkan kepuasan seketika, meskipun demikian
dalam masyarakat modern uang berfungsi sebagai kunci utama yang membuka nyaris
semua kesenangan—juga banyak penderitaan.
Uang adalah titik api kebudayaan dunia modern. Uang mendefinisikan berbagai
hubungan antarmanusia, bukan cuma antara konsumen dan pedagang di pasar atau
majikan dan buruh di tempat kerja. Dalam dunia modern uang semakin sering
mendefinisikan hubungan antara orang tua dan anak, antarteman, antara politisi
dan konstituen, antartetangga, antara rohaniwan dan jemaat. Uang membentuk
institusi-institusi sentral pasar dan perekonomian modern, di sekelilingnya
menggerombol institusi-institusi pendukung kekerabatan, agama, dan politik.
Uang betul-betul sudah menjadi bahasa perdagangan dunia modern.
Sumber
gambar: https://en.wikipedia.org/wiki/Egyptian_pyramids
Dipetik dari Jack Weatherford, The History of
Money, Crown Publishers Inc, New York, 1997, diterjemahkan oleh Noor Cholis dengan judul Sejarah Uang, PT Bentang Pustaka, Yogyakarta (2005)
Comments
Post a Comment